Sabtu, 22 Juni 2013

Sejarah



PerahuKondisi Asmat yang berlumpur dan peperangan antar masyarakatnya, pada awalnya tidak menarik perhatian dan dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Belanda. Kemudian baru diketahui bahwa seluruh Asmat menyimpan berbagai macam kekayaan alam yang luar biasa. Selain keunikan pola hidup peramu yang animis dengan representasi dalam berbagai bentuk ritual dan ukiran. Di beberapa titik terdapat sumber minyak bumi. Hutan-hutan ditumbuhi berbagai macam pohon bakau, palma, pandan, kayu besi yang bagus untuk bangunan dan kayu gaharu yang mahal harganya. Di tengah hutan terdapat rimbunan pohon sagu yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok. Sungai-sungai dan lautnya kaya akan berbagai macam ikan, udang, kepiting dan buaya dll.
Baru pada awal 1900-an wilayah Selatan Papua (dulu Irian Jaya) termasuk Asmat mulai dilirik dan dieksplorasi. Kemudian untuk kepentingan keamanan maka pada tahun 1936 Pemerintah Belanda membangun pos pemerintahan di Asmat. Bapak Felix Maturbongs yang diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats (1938-1943) mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun kompleks Pos Pemerintahan di Agats. Oleh orang Asmat, pos pemerintahan itu disebut Akat (baik, bagus). Kata Akat kemudian berubah menjadi Agats (karena lidah orang Belanda sulit menyebut Akat). Pada tahun 1936 ini juga P. Herman Tillemans, MSC mengunjungi daerah Asmat bagian utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC di Mimika. Inilah misi pertama di wilayah lumpur Asmat. Kunjungan perdana ini guna melihat langsung keadaan Asmat dan mencari kemungkinan untuk pewartaan Injil. Tercatat bahwa pada tahun 1938, P. Hendrikus Conelisse, MSC mengunjungi Asmat dari Langgur-Kei. Kemudian dua (2) gereja dibangun (di Syuru dan Ayam). Pada Agustus 1941, P. Cornelisse, MSC mengirim dua Guru Katolik ke Agats untuk rencana pembukaan SD Katolik Syuru dan Ayam. Bulan November 1941, Guru Thadeus Ngaderman, Yoseph Renwarin, Natalis Kelanit, Emerikus Rahawarin dan Guru Isaias Maturbongs mengajar perdana di SD Katolik Ewer, Syuru dan Ayam. Sampai tahun 1942, belum ada warga pribumi yang dibaptis. Umat Katolik di Agats terdiri dari anggota keluarga guru dan pegawai pemerintah antara 40-50 orang. Pater Cornelisse, MSC merayakan Natal 1942 di Agats dan kembali ke Langgur dengan K.M. Abatras. Pada Januari 1943, tentara Jepang telah memasuki daerah Mimika. Bestir Felix Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke bahwa penduduk Agats segera diungsikan ke Merauke dan Pos Agats dimusnahkan. Pada 26 Januari 1943, Bestir dan semua penduduk Agats(pendatang) berangkat dengan K.M. Herman ke Merauke. Sambil bertolak dari Agats, seluruh Pos Agats dalam keadaan terbakar. Sampai di sini semua usaha awal pewartaan untuk Asmat dihentikan karena situasi Perang Dunia II.
MisionarisBaru pada 1950-an misi di Asmat dimulai kembali saat P. Gerarld Zegwaard, MSC mengunjungi Asmat. Beliau berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat yang sebelumnya mengungsi ke Kamoro. P. Zegwaard menempatkan 5 orang Katekis di kampung Ao, Kapi, As-Atat dan Nakai yang sekarang berkembang menjadi Paroki Yamasj. Pada Januari 1953, P. Zegwaard, MSC mulai menetap di Agats dan pada 3 Pebruari 1953 membaptis seorang ibu di Kampung Syuru (orang Asmat pertama). Demi efektifitas pelayanan dan pewartaan maka dibuka pusat-pusat misi di Agats, Ayam, Yamasj, Sawa-Erma, Atsj dan Pirimapun. Didesak oleh kebutuhan akan kenyamanan belajar bagi anak-anak maka pada tahun 1956, para suster PBHK (Putri Bunda Hati Kudus) membuka sebuah Asrama Putri dan membantu melayani di Poliklinik Agats.
Setelah melalui suatu proses panjang, akhirnya pada 26 Perbuari 1958 terjadi penandatanganan kontrak kerja antara Keuskupan Agung Merauke dengan Pro-Provinsi OSC St. Odilia Amerika untuk secara khusus melayani daerah Asmat. Sedangkan daerah Basim, Bayun, Pirimapun yang dihuni oleh berbagai suku tetap ditangani oleh para misionaris MSC. Empat (4) misionaris OSC pertama tiba di lumpur Asmat pada 15 Desember 1958 yaitu: Pst. Frank Pitka, OSC, Pst. Delmar Hesch, OSC, Br. Joseph DeLouw, OSC dan Br. Clarence Neuner, OSC. Kemudian sejak 1 November 1961 terjadi peralihan resmi tanggung jawab misi di daerah Asmat ketika Mgr. Herman Tillemans, MSC (Uskup Agung Merauke) mengangkat P. Francis Pitka, OSC menjadi Vicar Delegatus untuk daerah Asmat. Tiga tahun berselang, OSC mengutus anggotanya untuk memperkuat misi di Asmat dengan membuka pusat-pusat misi baru di Sawa-Erma, Komor, Yaosakor dan Basim. November 1966, para suster TMM (Tarekat Maria Mediatrix) datang dari Langgur – (Kei Kecil). 4 Suster TMM perdana yaitu: Sr. Sebastiana Lesomar, MM, Sr. Margareta, MM, Sr. Edmunda Takerubun, MM dan Sr. Antonina, MM. Para suster ini kemudian menggantikan suster PBHK.
14 Desember 1966, P. Alphonse A. Sowada, OSC diangkat sebagai Vicarius Generalis untuk Asmat. Selanjutnya pada 21 Agustus 1969, Vatikan mengumumkan pengangkatannya sebagai Uskup Agats. Tiga bulan kemudian, 23 November 1969, Keuskupan Agats berdiri bertepatan dengan penahbisan P. Alphonse A. Sowada, OSC sebagai Uskup Pertama. Sejak itu Uskup baru bersama para Crosier di Asmat terus-menerus mencari bentuk warta Injil yang tepat untuk pembangunan dan pengembangan masyarakat Asmat. 
Bertepatan dengan penutupan Pesta Perak hadirnya misi di Asmat maka diadakan Muspas (Musyawarah Pastoral) Keuskupan Agats pertama pada Februari 1979. Saat itu dihasilkan sejumlah usulan untuk pengembangan pastoral. Kemudian pada 20 -25 Oktober 1980, 15 petugas pastoral secara sistematis menyusun rencana pastoral lima tahunan yang menghasilkan Visi Gereja Baru dan prioritas pastoral yang menekankan unsur budaya Asmat.
Menanggapi hasil Muspas maka datang beberapa pelayan yang memperkuat barisan petugas pastoral yang sebelumnya telah berkarya di Asmat. Pastor Marryknoll, P. Vince Cole, MM tiba di Asmat pada akhir 1979. Kemudian pada 17 November 1980, tibalah empat (4) Crosier dari Provinsi Bandung: P. Agustinus Made, OSC, P. Yohanes Widyasuharjo, OSC, Fr. Agus Rachmat, OSC dan Fr. Bambang, OSC untuk melayani Paroki Atsj dan Yaosakor. Dua (2) pastor Millhil menyusul: P. Joseph Haas, MHM dan P. Anton Putman, MHM di pusat Paroki Senggo tahun 1982 (P. Anton Putman baru pulang ke Belanda 2009 lalu). Satu tahun kemudian pada 13 Oktober 1983, Sr. Paulina Gani, OSU untuk pertama kalinya datang melayani di Keuskupan Agats dan menetap di Ewer. Sebelumnya pada 1982, Sr. Paulina Gani, OSU bersama dengan Sr. Ildefonsa (Sr. Helena) telah datang berkunjung untuk melihat kemungkinan mengembangkan karya Ordo Santa Ursula di Asmat.Periode 1980 sampai 2000 terjadi proses Indonesianisasi petugas pastoral yang berjalan intensif. Pada awal 1980-an dari 30 tenaga religius, 21 di antaranya adalah misionaris asing. Sampai tahun 2000, tinggal 5 orang dan 2 orang pada tahun 2010 yakni P. Virgil Petermeier, OSC dan P. Vincent Cole, MM. Sejak tahun 2000, kelompok religius pribumi terus bertambah hingga mencapai 33 orang. Calon imam/ religius yang sebelumnya hanya 4 orang, pada 2000 sudah berjumlah 24 orang. Sedangkan tenaga awam pada 1980 hanya berjumlah 8 orang dan pada tahun 2000 mencapai 16 orang. Hingga tahun 2010 tenaga awam mencapai 31 orang (20 tenaga kantor dan 11 katekis).
ServingPada April 2001, lebih dari 200 peserta mengikuti Musyawarah Pastoral kedua. Tujuannya untuk menemukan pendekatan pastoral yang lebih cocok dan transformatif menuju Gereja Mandiri dengan memanfaatkan pola kepemimpinan adat dan nilai-nilai luhur budaya Asmat. Kesempatan Muspas ini sekaligus didedikasikan sebagai ungkapan terima kasih kepada Mgr. Alphonse A. Sowada, OSC atas 40 tahun pengabdian beliau di Gereja Lokal Keuskupan Agats. 32 tahun di antaranya diabdikan beliau sebagai Uskup Agats. P. Virgil Petermeier, OSC sebulan kemudian ditunjuk sebagai Administrator Keuskupan Agats.
Setelah menanti setahun lebih, akhirnya umat Keuskupan Agats mempunyai seorang Uskup baru. Paus Johanes Paulus II pada hari Senin, 6 Mei 2002 mengangkat P. Aloysius Murwito, OFM sebagai Uskup Agats menggantikan Mgr. Alphonse Sowada, OSC. Berita pengangkatan Uskup Aloysius Murwito, OFM kemudian diumumkan secara resmi di Roma pada tanggal 8 Juni 2002. Dengan motto, “In Deo Speravi Non Timebo” (Kepada Allah Aku Percaya, Aku Tidak Takut) Mazmur 56: 5. Mgr. Aloysius Murwito, OFM ditahbiskan pada hari Minggu, 15 September 2002 di Lapangan Yos Sudarso Agats dengan penahbis utama Mgr. Jacobus Duivenvoorde, MSC, Uskup Keuskupan Agung Merauke. Sementara itu, Mgr. Alphonse A. Sowada, OSC (mantar Uskup Agats), Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM (Uskup Jayapura) dan Mgr. F.X. Hadisumarta, O.Carm (Uskup Manokwari-Sorong) menjadi Pentahbis-Serta. Upacara pentahbisan ini diikuti ribuan umat, para uskup, biarawan-biarawati, para pastor, para suster serta tamu undangan lain dari instansi pemerintah.
PriestsTahbisan Uskup kedua ini membuka sejarah baru Keuskupan Agats dan menjadi babak baru pada proses Indonesianisasi dalam kepemimpinan keuskupan. Sampai tahun 2010, wilayah dan umat Keuskupan Agats dilayani oleh 20 pastor {6 orang Projo Keuskupan Agats, 1 projo Keuskupan Bogor, 1 orang Projo Keuskupan Makasar, 7 OSC Prioran Wahyu Salib Papua, 3 orang OSC Bandung, 1 orang Marryknoll Missionaries (MM), 2 orang OFM Kustodi Duta Damai Papua}. 9 suster (6 TMM dan 3 OSU), dan 20 orang tenaga awam yang bekerja dalam Komisi-komisi dan kantor keuskupan serta 11 orang katekis paroki.
Sumber: © 2012 www.keuskupanagats.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar